
www.bmtpas.com Surah Ali Imran ayat 104 berbunyi: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung (muflihun).” Ayat ini menjadi dasar pentingnya dakwah dalam Islam—amar ma’ruf nahi munkar sebagai pilar utama masyarakat yang islami.
Kata kunci “minkum” (منكم) dalam ayat ini dipahami secara berbeda oleh para mufassir. Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir al-Kabir, kata “minkum” menunjukkan kewajiban kolektif (fardhu kifayah), yakni tidak harus dilakukan oleh semua orang, tetapi cukup sebagian umat yang mampu dan layak melakukannya. Pendapat serupa juga disebutkan oleh Imam Al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani, yang menekankan pentingnya keberadaan kelompok khusus yang berdakwah secara terorganisir.
Namun demikian, dalam kondisi di mana kemungkaran terjadi secara terbuka dan tidak ada yang mencegahnya, maka kewajiban tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Ia menyatakan bahwa setiap Muslim yang melihat kemungkaran wajib mencegahnya sesuai kemampuan: dengan tangan, lisan, atau minimal dengan hati, mengacu pada hadis Nabi SAW.
Orang-orang yang melaksanakan tugas ini disebut dalam ayat sebagai “muflihun” (orang-orang yang beruntung). Menurut Tafsir Ibn Katsir, keberuntungan ini mencakup kemenangan dunia dan akhirat, sebab mereka ikut menjaga agama dan memperbaiki masyarakat. Hal ini senada dengan ayat lain, seperti QS Al-Mu’minun:1 “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman…” yang menunjukkan bahwa keberuntungan hakiki selalu terkait dengan iman dan amal nyata.
Dengan demikian, QS Ali Imran:104 tidak hanya memerintahkan dakwah, tetapi juga membentuk kerangka sosial ideal dalam Islam. Amar ma’ruf nahi munkar bukan sekadar anjuran, tetapi fondasi keberhasilan umat, yang jika ditegakkan, akan melahirkan generasi muflihun—mereka yang sukses sejati di dunia dan akhirat.