www.bmtpas.com Pascapergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa, publik langsung dikejutkan dengan kebijakan besar yang cukup berani. Sang menteri baru memutuskan untuk menggelontorkan dana sebesar Rp 200 triliun ke dalam sistem perbankan, tepatnya kepada bank-bank yang tergabung dalam HIMBARA (Himpunan Bank Negara). Kebijakan ini tentu mengundang banyak perbincangan: apa tujuan sebenarnya, bagaimana pembagiannya, serta apa dampak positif dan risiko yang harus diantisipasi?
Pembagian Dana Rp 200 Triliun
Menurut keterangan resmi, dana tersebut berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang sebelumnya mengendap di rekening khusus Bank Indonesia. Alih-alih dibiarkan tidak produktif, pemerintah menyalurkan dana itu dalam bentuk deposito on call kepada bank-bank BUMN. Rinciannya cukup jelas: Bank Mandiri menerima Rp 55 triliun, BRI Rp 55 triliun, BNI Rp 55 triliun, BTN Rp 25 triliun, dan BSI Rp 10 triliun. Menariknya, pemerintah menegaskan bahwa dana ini tidak boleh digunakan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN), melainkan benar-benar diarahkan agar mengalir ke sektor riil.
Tujuan dan Harapan Positif
Kebijakan ini tentu bukan tanpa alasan. Ada setidaknya lima harapan utama yang ingin dicapai.
Pertama, meningkatkan likuiditas perbankan. Dengan tambahan dana jumbo, bank memiliki ruang lebih luas untuk menyalurkan kredit tanpa khawatir kehabisan sumber pendanaan.
Kedua, mendorong sektor riil. Dana besar ini ditujukan agar benar-benar masuk ke dunia usaha, terutama UMKM, koperasi, dan sektor padat karya. Jika kredit bergulir lebih banyak, maka produksi dan investasi dapat bergerak lebih cepat, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Ketiga, potensi penurunan bunga kredit. Tambahan dana murah membuat bank lebih leluasa dalam menetapkan biaya dana. Harapannya, bunga kredit menjadi lebih terjangkau sehingga pelaku usaha punya peluang lebih besar untuk meminjam modal.
Keempat, optimalisasi dana yang tidak terpakai. Selama ini SAL seringkali hanya mengendap tanpa manfaat langsung bagi ekonomi. Dengan digelontorkan ke bank, dana tersebut bisa memberi multiplier effect yang lebih nyata.
Kelima, menumbuhkan kepercayaan pasar. Kebijakan sebesar ini memberi sinyal kuat bahwa pemerintah serius mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini bisa meningkatkan optimisme pelaku usaha maupun investor terhadap arah kebijakan fiskal ke depan.
Risiko dan Sisi Negatif
Namun, setiap kebijakan besar selalu datang bersama risiko. Ada beberapa hal yang perlu diwaspadai.
Pertama, risiko moral hazard. Meski pemerintah menegaskan dana tidak boleh dipakai untuk membeli SBN, tetap ada kemungkinan bank mencari jalan aman alih-alih menyalurkan kredit yang berisiko. Jika hal ini terjadi, dana hanya berputar di sektor keuangan, bukan ekonomi riil.
Kedua, permintaan kredit yang rendah. Likuiditas boleh melimpah, tetapi bila dunia usaha masih berhati-hati dan enggan berutang akibat ketidakpastian ekonomi, maka dana ini bisa tetap mengendap.
Ketiga, biaya penempatan dana. Penempatan Rp 200 triliun ini disebut membawa cost sekitar 4%. Jika bank tidak bisa mengelola dana tersebut dengan baik, justru ada risiko tambahan beban keuangan.
Keempat, inflasi dan kredit konsumtif. Jika dana justru lebih banyak masuk ke kredit konsumsi, permintaan barang bisa melonjak sementara pasokan terbatas. Akibatnya, tekanan inflasi bisa meningkat.
Kelima, risiko kredit macet. Dorongan untuk menyalurkan kredit cepat bisa membuat bank kurang selektif. Bila debitur gagal bayar, kualitas aset bank akan terganggu, bahkan bisa berdampak sistemik.
Lebih Baik di Bank Negara atau di Bank Indonesia?
Pertanyaan kritis muncul: apakah lebih baik uang sebesar ini berputar di bank negara atau dibiarkan saja “diparkir” di Bank Indonesia? Bila tetap disimpan di BI, maka keamanannya lebih terjaga, tapi dampak terhadap ekonomi nyata sangat minim. Sebaliknya, bila dialirkan ke bank negara, potensi efek berganda terhadap pertumbuhan ekonomi jauh lebih besar, meski risiko juga ikut meningkat. Dengan kata lain, pilihan pemerintah ini adalah taruhan: berani mengambil risiko demi percepatan pertumbuhan, daripada bermain aman tapi stagnan.
Sikap Tepat bagi Pelaku Usaha
Bagi para pelaku usaha, kebijakan ini seharusnya dilihat sebagai peluang. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain: menyiapkan proposal bisnis yang solid agar lebih mudah mendapatkan kredit, memanfaatkan potensi bunga lebih rendah untuk ekspansi usaha, menjaga kesehatan arus kas agar tidak terjebak utang berlebih, serta memantau dengan cermat program kredit dari masing-masing bank HIMBARA.
UMKM, koperasi, maupun usaha padat karya perlu menyadari bahwa kesempatan ini mungkin tidak datang dua kali. Selama bank masih memiliki mandat untuk menyalurkan kredit dari dana jumbo ini, pelaku usaha yang siap secara administratif dan finansial akan lebih mudah memperoleh akses modal.
Penutup
Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menempatkan Rp 200 triliun di bank-bank HIMBARA adalah langkah berani yang penuh harapan sekaligus risiko. Jika berhasil diarahkan ke sektor produktif, maka dampaknya bisa besar: likuiditas meningkat, bunga kredit turun, dan sektor riil menggeliat. Namun, tanpa pengawasan ketat, kebijakan ini bisa gagal mencapai tujuan dan justru menimbulkan masalah baru. Pada akhirnya, yang terpenting bukan hanya berapa besar dana yang digelontorkan, melainkan seberapa tepat sasaran penyalurannya agar benar-benar menggerakkan roda ekonomi bangsa.