www.bmtpas.com Lembaga Keuangan Syariah (LKS) hadir sebagai solusi alternatif dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan masyarakat dengan prinsip yang sesuai syariah. Tidak seperti lembaga keuangan konvensional yang berbasis bunga, LKS menggunakan akad-akad syariah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI). Beberapa produk pembiayaan utama dalam LKS antara lain murabahah, rahn, ijarah, mudharabah, dan qardh, disertai model lainnya seperti musyarakah, istishna’, dan salam. Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda, sesuai dengan kebutuhan dan segmentasi penggunaannya.
Secara global, murabahah adalah akad jual beli di mana lembaga keuangan membeli barang yang dibutuhkan nasabah, kemudian menjualnya kembali kepada nasabah/anggota dengan harga pokok ditambah margin keuntungan yang disepakati. Rahn adalah akad gadai, yakni jaminan berupa barang berharga yang ditahan oleh lembaga keuangan sebagai penguat utang. Ijarah merupakan akad sewa menyewa suatu barang atau jasa dengan pembayaran imbalan tertentu. Mudharabah adalah pembiayaan dengan skema bagi hasil, di mana lembaga keuangan menyediakan modal sementara nasabah bertindak sebagai pengelola usaha. Qardh adalah pinjaman kebajikan tanpa imbalan, di mana nasabah hanya wajib mengembalikan pokok pinjaman. Sementara itu, model pembiayaan lain sesuai fatwa DSN mencakup akad musyarakah (kerja sama modal), istisna’ (pembiayaan proyek manufaktur/pemesanan barang), dan salam (pembelian barang dengan pembayaran di muka).
Dari sekian banyak akad, murabahah menjadi salah satu yang paling dominan digunakan dalam praktik LKS. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, skema murabahah sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat karena mirip dengan mekanisme kredit konvensional, hanya berbeda pada aspek syariah. Kedua, akad ini memberikan kepastian bagi kedua belah pihak: LKS memperoleh keuntungan dari margin yang jelas, sementara nasabah/anggota mengetahui jumlah kewajiban pembayaran sejak awal. Ketiga, murabahah lebih minim risiko dibandingkan akad bagi hasil seperti mudharabah atau musyarakah yang sangat bergantung pada kinerja usaha nasabah/anggota.
Namun, dominasi murabahah tidak lepas dari tantangan yang harus dihadapi. Dari sisi peluang, murabahah memberi ruang besar bagi LKS untuk memperluas pasar, khususnya pada sektor konsumtif dan pembelian barang modal usaha. Produk ini juga mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat karena bersifat transparan, sederhana, dan sesuai prinsip syariah. Selain itu, murabahah dapat memperkuat posisi LKS dalam kompetisi dengan lembaga keuangan konvensional yang menawarkan skema serupa berbasis bunga.
Sementara dari sisi tantangan, terdapat beberapa hal penting. Pertama, murabahah rentan disalahgunakan bila tidak diawasi dengan ketat, misalnya hanya menjadi “bungkus syariah” bagi praktik kredit konvensional. Kedua, sebagian nasabah masih berasumsi bahwa margin murabahah tidak jauh berbeda dengan bunga, sehingga dibutuhkan edukasi yang lebih masif. Ketiga, implementasi teknis seperti pengadaan barang yang seharusnya dilakukan oleh LKS sering kali digeser menjadi tugas nasabah/anggota, padahal menurut fatwa DSN, LKS wajib benar-benar memiliki barang terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali. Tantangan lain adalah risiko gagal bayar dari nasabah/anggota, yang tetap membebani LKS meskipun margin keuntungan sudah ditetapkan sejak awal.
Untuk menjaga agar praktik murabahah sesuai dengan syariah, DSN-MUI telah mengatur urutan pelaksanaannya. Pertama, nasabah/anggota mengajukan kebutuhan barang kepada LKS. Kedua, LKS membeli barang tersebut dari pemasok dengan sah sehingga kepemilikan berpindah ke LKS. Ketiga, LKS menjual barang tersebut kepada nasabah/anggota dengan harga pokok ditambah margin yang telah disepakati. Keempat, akad murabahah dilakukan secara jelas dan transparan, termasuk menyebutkan harga pokok dan margin keuntungan. Kelima, pembayaran oleh nasabah/anggota dilakukan sesuai kesepakatan, baik secara tunai maupun cicilan. Urutan ini harus dijalankan secara disiplin agar terhindar dari praktik yang bertentangan dengan prinsip syariah.
Sebagai penutup, murabahah memiliki posisi yang sangat penting dalam pengembangan industri keuangan syariah di Indonesia. Dengan peluang besar untuk memperluas basis nasabah/anggota, murabahah mampu menjembatani kebutuhan pembiayaan yang halal, transparan, dan praktis. Meski demikian, tantangan dalam implementasi perlu diantisipasi, terutama dalam menjaga integritas akad agar tetap sesuai dengan fatwa DSN. Edukasi yang berkesinambungan serta tata kelola yang ketat menjadi kunci agar murabahah tidak sekadar menjadi pilihan populer, melainkan juga instrumen yang benar-benar membawa keberkahan dalam sistem keuangan syariah.