www.bmtpas.com Cryptocurrency — singkatnya — adalah bentuk uang digital yang berjalan di jaringan terdesentralisasi (blockchain). Ide inti: memungkinkan transfer nilai peer-to-peer tanpa perantara seperti bank, dengan bukti kriptografis untuk mencegah “double spending”. Konsep ini diperkenalkan dalam whitepaper Bitcoin oleh “Satoshi Nakamoto” pada 2008 sebagai proposal “peer-to-peer electronic cash”.
Misi pendiri awal (terutama Satoshi) bisa diringkas: ciptakan sistem uang yang tidak bergantung pada otoritas pusat — meningkatkan kebebasan finansial, mengurangi kebutuhan kepercayaan pada perantara, dan memberikan kontrol lebih langsung kepada pemilik aset. Namun komunitas crypto sejak itu berkembang: ada misi teknis (kontrak pintar, privasi), misi finansial (store of value) dan misi komersial (platform DeFi, NFT, dll).
Ringkasan data nilai (fokus pada Bitcoin sebagai indikator terbesar pasar): pada 2009 nilainya praktis nol; 2010 mulai diperdagangkan dengan nilai sangat kecil; pada 2013 mencapai ~$1.000; bull run 2017 mendekati ~$19.000; ATH awal 2021 ≈ $69.000; gelombang baru mulai 2024 setelah persetujuan spot-ETF mendorong permintaan institusional; akhir 2024–2025 Bitcoin menembus kisaran enam digit dan sempat mencatat rekor tinggi di 2025. (Sumber sejarah harga: CoinMarketCap, Investopedia, OANDA/BankRate dan ringkasan berita pasar).
Kenapa harga sering melambung? Faktor utama: (1) kelangkaan terprogram (supply cap 21 juta dan halving), (2) spekulasi ritel, (3) masuknya modal institusional (termasuk peluncuran spot Bitcoin ETFs pada Jan 2024 yang memudahkan aliran modal besar), (4) sentimen makro (likuiditas global, inflasi), dan (5) berita besar/efek jaringan. Kombinasi adopsi + FOMO sering memperbesar kenaikan, sementara berita negatif/regulasi memicu koreksi.
Apakah crypto “worth” sebagai investasi? Jawaban singkat: bergantung profil risiko dan horizon. Crypto menawarkan potensi return tinggi tetapi volatilitas ekstrem dan risiko regulasi/teknis/penipuan juga tinggi. Untuk investor konservatif: alokasi kecil (mis. 1–3%) mungkin masuk akal; untuk spekulan jangka pendek, peluang ada tetapi risiko kehilangan modal penuh nyata. Banyak otoritas (ECB, SEC) memperingatkan risiko; diversifikasi dan paham produk sangat penting.
Kasus penipuan besar: akhir 2025 pengadilan Inggris menghukum Zhimin Qian (alias Yadi Zhang) terkait skema investasi di China yang menurut pengadilan merugikan ~128.000 korban senilai sekitar £4.6 miliar (~$6.3 miliar). Polisi Metropolitan juga menyita 61.000 Bitcoin — disebut sebagai penyitaan crypto terbesar di Inggris. Dalam nilai rupiah (kurs sekitar Rp16.700/USD akhir Nov 2025) jumlah itu setara ≈ Rp105 triliun. Ini contoh besar bagaimana penipuan tradisional bisa “dikonversi” ke crypto dan melintas yurisdiksi.
Langkah antisipatif praktis bagi pengguna/pendatang baru:
-
Pelajari dasar (private key ≠ exchange password); gunakan cold wallet untuk investasi jangka panjang.
-
Verifikasi platform: cek regulasi, review independen, dan KYC/AML exchange.
-
Jangan percaya janji return tinggi; waspadai skema referral/ponzi.
-
Gunakan 2FA, alamat email terpisah, dan hardware wallet untuk penyimpanan besar.
-
Jika sudah rugi/tertipu: lapor polisi & regulator lokal, blokir transaksi bila memungkinkan, dan dokumentasikan bukti untuk upaya recovery/gruop action.
Crypto reopened peluang finansial baru tapi juga kanal untuk penipuan berskala besar. Pahami teknologi & risiko sebelum masuk, jaga pengamanan pribadi, dan perlakukan alokasi crypto sebagai bagian kecil dari portofolio yang lebih luas.
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI sudah mengkaji kripto secara mendalam. Menurut MUI, crypto haram jika digunakan sebagai mata uang / alat tukar. Alasan utama pelarangan ini adalah adanya unsur gharār (ketidakpastian), maysir (perjudian/spekulasi berlebihan), dan dharar (potensi kerugian besar).
Selain itu, MUI menyatakan bahwa crypto tidak memenuhi syarat “sil’ah” (barang untuk diperdagangkan secara syariah), karena tidak punya bentuk fisik jelas, sulit diserahkan secara nyata, serta nilai/tukarannya sangat fluktuatif.
Fatwa ini juga merujuk pada Undang-Undang positif di Indonesia, seperti UU No. 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia No. 17 Tahun 2015, bahwa rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia; jadi penggunaan kripto sebagai alat pembayaran dianggap bertentangan.