
www.bmtpas.com Murabahah merupakan salah satu akad jual beli dalam Islam yang paling banyak diaplikasikan dalam keuangan syariah, khususnya di lembaga keuangan seperti bank syariah atau koperasi syariah. Secara sederhana, murabahah adalah transaksi jual beli di mana penjual menyebutkan harga pokok barang serta margin keuntungan yang disepakati dengan pembeli. Namun, agar akad ini sah dan sesuai syariah, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Baik fikih klasik maupun fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) memberikan penjelasan mendetail mengenai hal ini.
A. Syarat Barang (Ma’qud ‘Alaih)
Barang yang menjadi objek akad murabahah harus jelas dan diketahui sifat-sifatnya secara rinci, seperti jenis, jumlah, dan kualitasnya. Hal ini penting agar tidak terjadi gharar (ketidakjelasan), yang dilarang dalam transaksi muamalah. Rasulullah SAW bersabda:
“Nabi melarang jual beli yang mengandung gharar.” (HR. Muslim no. 1513)
Barang juga harus halal, bukan barang yang diharamkan seperti minuman keras atau babi, serta bukan termasuk barang yang tidak dapat dimiliki secara syar’i seperti barang curian atau barang najis. Selain itu, penjual wajib memiliki dan menguasai barang tersebut sebelum dijual. Ini menegaskan bahwa dalam murabahah, tidak diperbolehkan menjual barang yang belum dimiliki, sebagaimana ditegaskan dalam hadits:
“Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.” (HR. Abu Daud no. 3503)
B. Syarat Penjual dan Pembeli (‘Aqidain)
Akad murabahah hanya sah jika dilakukan oleh pihak-pihak yang cakap hukum, yakni baligh, berakal sehat, dan memiliki kehendak bebas. Seseorang yang dipaksa untuk melakukan akad (dalam kondisi ghashb) atau belum baligh maka akadnya tidak sah. Ini sesuai dengan kaidah usul fikih:
“Akad itu tidak sah kecuali dari orang yang memiliki kewenangan hukum.”
Cakap hukum juga termasuk tidak berada dalam kondisi yang menghilangkan akal sehat seperti mabuk atau sakit jiwa. Dalam konteks keuangan syariah, lembaga keuangan sebagai penjual atau pembeli pun harus diwakili oleh pihak yang memiliki kuasa hukum untuk bertindak.
C. Syarat Harga Jual (Tsaman)
Harga jual harus jelas, termasuk nilai pokok dan margin keuntungan yang disepakati bersama di awal akad. Ketidakjelasan dalam harga dapat mengakibatkan gharar dan sengketa di kemudian hari. Dalam Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, dijelaskan bahwa harga harus disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad dilakukan.
Transparansi dalam penetapan harga menjadi prinsip utama. Ini berbeda dengan riba yang menyembunyikan keuntungan dari kejelasan harga, sehingga murabahah tetap sesuai prinsip keadilan dalam Islam.
D. Syarat Ijab Qabul (Sighat)
Ijab qabul atau pernyataan kesepakatan merupakan unsur pokok dalam sahnya akad. Dalam murabahah, pernyataan jual beli harus eksplisit, tertulis maupun lisan, dan dilakukan oleh kedua pihak dengan saling ridha. Tidak cukup hanya dengan kesepakatan informal tanpa akad nyata.
Lebih lanjut, akad juga tidak boleh mengandung syarat-syarat yang bertentangan dengan prinsip syariah, seperti syarat yang tidak pasti atau menimbulkan keraguan (gharar). Oleh karena itu, akad murabahah umumnya dituangkan dalam bentuk tertulis dan disertai dokumentasi yang sah secara hukum.
Dengan memenuhi keempat syarat ini, maka akad murabahah dianggap sah dan dapat menjadi instrumen muamalah yang membawa keberkahan serta menjauhkan dari riba. Kehadiran fatwa DSN-MUI sebagai pedoman hukum positif syariah di Indonesia memberikan payung legal sekaligus memastikan bahwa praktik murabahah tetap sejalan dengan maqashid syariah, yakni kemaslahatan umat.
Akad murabahah bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga bagian dari ibadah muamalah yang mengajarkan prinsip keadilan, keterbukaan, dan tanggung jawab. Dengan memahami dan menerapkannya sesuai syariat, kita tidak hanya menjalankan transaksi yang sah, tapi juga berkontribusi dalam membangun sistem ekonomi yang sehat dan penuh berkah.